Normalisasi Maskulinitas Pengaruh K-Pop dan K-drama
“Bert, itu lu pake lipstick ya?”
“Kaga ini lip balm kok,” balas Albert
“Lah, ngapain lu pake lip balm sih?”
“Ya karena mulut gw kering cuy, ya makanya gua pake lip balm lah,” tuntas Albert
Temannya mengakhiri “Kalau mulut lu kering harusnya lu minum air lah bukannya malah pake lip balm kayak cewek tau.”
Dialog tersebut menggambarkan konstruksi maskulinitas laki-laki yang masih ada di masyarakat. Albert Tanuwijaya (20) merupakan penggemar K-Pop yang sering mengalami toxic masculinity dari temannya. K-Pop (Korean Pop) identik dengan penampilan yang rapi, cantik, pakaian yang unik, memakai riasan wajah dan aksesoris, serta memiliki ciri khas lewat tarian yang modern. Hobinya untuk menari atau merawat diri berkaca pada K-Pop itu sendiri sehingga kerap membuat para fans laki-laki dipertanyakan maskulinitasnya. Akibatnya, di tengah masyarakat yang konservatif dan beragama seperti Indonesia, laki-laki dituntut untuk menunjukkan sisi maskulinnya agar diterima oleh masyarakat. Dialog tersebut hanya sebagian kecil dari pengalaman Albert mengalami toxic masculinity.
Muhammad Syibbli, Psikologi, mengatakan bahwa toxic masculinity adalah kata yang digunakan ketika seseorang memaksakan sebuah terminologi di mana maskulin dipaksakan kepada laki-laki sehingga laki-laki dipandang “laki-laki” ketika mereka memiliki ciri-ciri maskulin, biasanya berhubungan dengan strength dan power. Lelaki yang tidak memiliki hal itu yang dianggap feminim.
Pengalaman Albert tidak hanya sebatas lipbalm. Albert mengaku bahwa K-Pop memiliki kontribusi penting dalam perjalanannya untuk mengekspresikan diri sejak kelas 2 SMA. Pada masa itu, Ia mulai berfokus membentuk tim dance cover. Berbeda dengan kondisi sekarang, dahulu mayoritas masyarakat belum tertarik dengan budaya populer Korea seperti K-Pop dan K-Drama.
“Sebenarnya kalau dari awal tentang stereotip itu (dance), dancer dikaitkan banget sama cewek dan itu sudah salah. Cuma, emang gak tau kenapa temen-temen aku juga menstereotipkan hal yang sama, kalau dance ya buat cewek,” tegas Albert.
Tarian modern K-POP yang energik
Hal serupa dialami oleh Dharmawan Budiman (19), yang juga salah satu penggemar K-pop. Dirinya mengaku maskulinitasnya sempat diragukan hanya karena mengikuti tren Korea. Ia mengaku mulai merawat kulit dengan produk skin care sejak menonton variety show Korea. Hal itu dilakukan untuk menjaga kesehatan kulitnya, tetapi rutinitas barunya itu justru sering dipertanyakan karena dianggap tidak cocok dengan citra laki-laki.
Idol K-Pop menggunakan masker wajah
​
​
“Pasti ada 1 atau 2 orang lah yang kayak, hah kok lu maskeran sih? Pasti ada aja yang nanya buat apa, karena itu biasanya buat cewek kan,” jelas Dharmawan.
​
Ujaran tersebut sempat membuatnya malu dan ragu untuk kembali merawat kulit. Menurutnya, pemikiran orang-orang di sekitar mulai berubah sejak munculnya K-drama. Pemeran laki-laki dalam drama sering digambarkan sebagai tokoh yang lembut dan perhatian. Namun, maskulinitas para aktor tidak berkurang, meskipun tidak selalu macho dan kekar. Oleh karena itu, K-drama memunculkan pandangan baru dalam masyarakat tentang maskulin yang tak harus macho ataupun sporty.
​
“Udah mulai slightly berubah ya, karena pengaruh dari Korea juga kalau menurut gua, tapi tetep masih ada. Jadi kayak terpecah dua pandangan, ada yang mandang harus tough dan soft,” ujarnya.
​
Sementara itu, Theodoros Ibnu Aziz (20), mengungkapkan kaum pria penikmat budaya Korea, seperti K-Pop atau K-drama, terlebih yang mengecat rambut dan menari dance cover kurang dapat dianggap maskulin. Menurutnya, aura yang ditunjukan para pecinta K-pop sedikit bertolak belakang dengan konstruksi maskulin yang diberikan media selama ini.
“Mungkin ada orang Korea yang maskulin, tapi kalo yang kayak K-Pop, dance, rambutnya dicat, orang-orang menganggap ga masuk gitu. Kayaknya ada yang lebih (maskulin) deh, misalkan Son Heung Min, pemain bola,“ jelas Theo saat diwawancarai pada Rabu (16/12/2020).
Penggemar Band Rock “The Beatles” ini mengungkapkan bahwa menurutnya maskulinitas adalah laki-laki yang berani, gagah, bertubuhnya besar dan tinggi, memiliki massa otot yang besar, suaranya berat, dan memiliki tampilan rambut rapi. Theo menyatakan pandangan ini ia miliki atas apa yang dipelajari, didengar, dan dilihatnya selama ini. Meskipun memiliki konsep maskulin seperti itu, Theo menyatakan pandangan “maskulin tidak cocok menangis” merupakan hal yang keliru.
“Kita kan manusia bisa sedih, orang bisa nangis. Nangis itu wajar, tapi yang bikin gak wajar adalah pandangan orang yang mungkin keliru ya,” ujar Theo.
Selain itu, media dapat mempengaruhi pandangan masyarakat tentang maskulinitas. Menurut Syibbli, standar maskulinitas dikonstruksi oleh media sejak dulu lewat konsep laki-laki yang ditonjolkan bertubuh kekar. Oleh karena itu, pandangan maskulinitas di Indonesia sedikit kaku karena mengikuti konstruksi yang telah terbentuk.
Konstruksi tersebut mempengaruhi pandangan masyarakat Indonesia, salah satunya Theo yang melalui media melihat maskulinitas digambarkan sebagai tolak belakang dari sifat, sikap, dan penampilan perempuan. Ia menganggap perempuan lemah gemulai dan sensitif sehingga laki-laki lebih lebih maskulin dan kekar.
​
Namun, di sisi lain perlu diingat bahwa maskulinitas yang tergambar lewat K-pop dan K-drama juga merupakan konstruksi media yang kuat. Hal ini disampaikan oleh Psikolog Ika Mustika dalam wawancara pada Rabu (16/12/2020) bahwa tayangan Korea baik K-pop maupun K-drama tidak bisa menggambarkan maskulinitas laki-laki Korea. Tayangan tersebut hanya sebatas konstruksi media bukan realita.
Selain itu, Dharmawan juga merasa bahwa tampilan idol ataupun aktor yang dikonsumsi masyarakat tidak serta merta mengurangi sisi maskulinitas mereka, karena hal tersebut dilakukan hanya untuk kepentingan visual dalam media.
Idol laki-laki dengan make-up smokey eye dan softlens
“Bahkan boygroup yang make-up juga ga berarti feminin, karena kan dia seorang public figure dan harus look good on tv, jadi dengan mereka make-up ga berarti mereka feminin, itu cuma cara mereka dress up agar look good on tv,” ujarnya.
Dalam konteks ini, Ika mengatakan bahwa pandangan maskulinitas Korea memang berpengaruh dalam mengubah pandangan maskulinitas dalam masyarakat Indonesia meskipun butuh penyaringan dan penyesuaian dengan budaya di Indonesia.
“Kembali lagi menurut saya dari tingkat sosial budaya itu (K-pop dan K-drama) mempengaruhi (toxic masculinity). Tetap harus ada batasan-batasan, edukasi, norma, sosial budaya,” jelas Ika.
Sependapat dengan Ika, peluang pandangan masyarakat terkait toxic masculinity dapat berubah dengan adanya kehadiran K-pop dan K-drama, meskipun hal ini tidak dapat berubah hanya karena pengaruh kedua faktor tersebut. Syibbli berpendapat bahwa perubahan pandangan dapat diterima bila beberapa variabel moderasinya dinormalisasi terlebih dahulu.
​
Normalisasi terkait pandangan toxic masculinity sedang terjadi di kehidupan sosial, salah satunya lewat peran K-pop dan K-drama. Hal ini tergambarkan lewat teman-teman Albert yang mulai open-minded dan menerima hobinya tanpa memandang maskulinitas dia berkurang.
Secara keseluruhan, K-pop dan K-drama menjadi sebuah budaya populer yang berhubungan dengan konstruksi media dan turut membantu menormalisasi pandangan sosial masyarakat terkait masculinity. Masculinity yang seringkali digambarkan media dengan sifat dan tampilan laki-laki yang identik kuat dan tahan banting, berubah menjadi lebih fleksibel dan bebas dalam mengekspresikan jati diri. Perubahan pandangan tentunya harus memperhatikan batasan, edukasi, norma sosial budaya yang ada. Perubahan pasti akan terjadi, tetapi membutuhkan waktu dan pemicu yang dapat menyadarkan masyarakat terkait isu tersebut.
​
​
Penulis:
Aurelia Felicia, Anasthasia Yuliana
Celine Night, Gabriela Amanda, Zahrah Pricila


