​Kisah Dibalik Cat Silver

Manusia silver di kolong fly over Gaplek, Pamulang, Tangerang Selatan. (Tangerang/Aurelia Felicia)
Rasa was-was terus menghantui. Mata yang jeli, terus melihat sekeliling. Memindai segala sudut jalan, mencermati setiap pengendara yang berlalu-lalang. “Jangan sampai kena lagi,” ujarnya dalam hati. Ia memutar kembali ingatannya dari kejadian hari itu. Senin, 2 November 2020. Hari itu terasa tak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Ia mengawali hari di kontrakan mungilnya berukuran 4x5 meter yang berada di dalam gang sempit di daerah Ciputat. Matahari pun bahkan belum terbit. Namun, ia sudah mulai beraktivitas. Menggulung tikar yang menjadi alas tidurnya di atas ubin yang dingin, menyiapkan makanan di dapur yang hanya muat satu orang, hingga mencuci pakaian yang tak lagi terlihat warnanya karena tercoreng cat silver.
Selepas membereskan rumahnya, kini giliran ia mempersiapkan dirinya. Ia menguncir satu rambutnya agar lebih nyaman menjalani hari. Dibukanya botol cat sablon berwarna silver seharga 15 ribu yang sudah ia pakai sejak tiga hari lalu. Ia memoles cat tersebut dengan tangan kosong ke seluruh permukaan kulit, dari wajah hingga ujung kaki tanpa ada celah kecil pun yang terlewat. Proses tersebut ia ulangi beberapa kali hingga kulit sawo matangnya tertutup sempurna oleh warna silver yang berkilau. Ia pun mengambil kotak berlapis lakban coklat yang telah tercoreng banyak cat silver di sekelilingnya, bergegas berangkat kerja, berharap keberuntungan berpihak padanya hari ini.
Ia menyusuri gang-gang kecil tanpa alas kaki, ditemani putra bungsunya yang membawa ukulele ungu kesayangannya untuk membantunya mencari nafkah dengan mengamen. Setelah 20 menit berjalan, sampailah ia di tempat kerjanya. Tempat kerjanya yang baru sejak satu tahun lalu. Tempat kerja yang sebetulnya tak layak dan berbahaya bagi keselamatan dirinya sendiri. Penuh polusi udara, juga suara. Tempat itu adalah lampu merah di kolong fly over Gaplek, Pamulang, Tangerang Selatan.
Ia menunggu lampu lalu lintas berwarna merah untuk mulai bekerja. Berpose di depan pengendara dan menghampiri mereka untuk meminta sumbangan. Ia berharap pengendara yang berhenti menunggu lampu hijau bisa terhibur dengan posenya dan tergerak untuk memberikan sedikit sumbangan. Ketika lampu berganti warna menjadi hijau, ia kembali ke kolong fly over untuk beristirahat sembari menunggu lampu kembali merah dan melancarkan aksinya.
​
​
​
​
Biasanya ia beraksi hingga sore hari. Namun, keberuntungan yang ia harap datang di hari itu justru berbalik menjadi kesialan. Hari itu ia kurang waspada. Tanpa ia sadari, mobil patroli Satpol PP telah mendekat dan melihat aksinya di tengah jalanan. Ia mencoba berlari dan sembunyi agar tidak tertangkap. Ia terlambat. Petugas Satpol PP telah memperhatikannya dari kejauhan dan berhasil meringkusnya untuk dibawa ke dinas sosial setempat. Rasa panik dan takut pun merasuki dirinya.
“Langsung lari saya ngumpet, di tenda belakang situ. Tapi kamtib nya udah liat kayaknya dari sana. Disamperin juga akhirnya, ya diangkut, dibawa,” tuturnya sambil mengingat-ingat hari itu.
Di Dinas Sosial, ia diberi arahan agar tak lagi turun ke jalan karena membahayakan keselamatan diri dan pengendara lainnya. Kegiatan yang ia lakukan sebagai manusia silver termasuk ke dalam Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) sehingga sering di razia oleh petugas. Ia pun diberi bimbingan, sebelum kembali dibebaskan. Ia pun menjemput putranya di kolong fly over dan bergegas pulang dengan perasaan takut dan trauma.
Awal Mula
Kejadian itu terus membekas di ingatannya sampai saat ini. Takut. Panik. Trauma. Hanya itu yang dirasakan Siro (43), seorang asisten rumah tangga yang terpaksa menjadi manusia silver akibat pandemi.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 29,12 juta pekerja yang terkena dampak pandemi Covid-19 sehingga warga miskin di Indonesia meningkat hingga 27,55 juta jiwa. Pandemi juga mengakibatkan lonjakan pengangguran mencapai 2,67 juta orang yang mengakibatkan total angkatan kerja yang menganggur sebanyak hampir 10 juta orang.
Kondisi inilah yang menjadi titik awal bagi Siro yang terpaksa menjadi manusia silver. Ibu tiga anak ini sebelumnya bekerja sebagai asisten rumah tangga di beberapa keluarga. Setiap harinya, ia bekerja dari rumah ke rumah untuk mencuci baju, menyapu, mengepel dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Namun, sejak pandemi melanda banyak rumah tangga yang merasa kurang aman dengan kedatangan Siro karena ia mengunjungi beberapa tempat dalam satu hari. Hal itu ditakutkan menjadi sumber penyebaran virus Covid-19 yang kasusnya tengah meningkat di masyarakat. Akibatnya, hari demi hari pendapatan Siro menurun drastis. Siro yang awalnya satu hari bekerja di 3 rumah, perlahan-lahan berkurang menjadi 2 rumah hingga akhirnya kehilangan pekerjaannya. Siro pun mengaku masih kesulitan secara finansial ketika bekerja sebagai asisten rumah tangga karena sistem gaji bulanan sehingga ia tidak memiliki pemasukan harian untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
“Habis kalau pembantu rumah tangga juga dapetnya bulanan. Sedangkan makan, sekolah anak-anak kan kita harus megang duit. Ya, kalau turun begini kan dapet duitnya tiap hari, jadi lebih enak ada pemasukan buat anak-anak. Buat ngirimin anak di pesantren, buat orang tua di kampung,” pungkasnya.
Sebagai orang tua tunggal, ia harus menghidupi kedua anaknya yang berada di pesantren serta Bambang (9) putra bungsu yang tinggal bersamanya. Menjadi manusia silver merupakan salah satu cara termudah bagi Siro untuk kembali menyambung hidup. Ia hanya membutuhkan cat sablon seharga 15 ribu yang bisa digunakan selama tiga sampai empat hari untuk membaluri seluruh kulitnya. Meski harus menahan malu, panas, dan gatal, Siro memberanikan diri membanting setir menjadi manusia silver. Kolong fly over itu serasa menjadi rumah kedua baginya. Bahkan, di kolong tersebut terdapat tikar yang menjadi tempat istirahat bagi Siro dan Bambang. Ketika matahari terlalu terik, tempat inilah yang menjadi lokasi Siro untuk berteduh dan beristirahat sejenak sebelum kembali berpose di tengah jalan.
​
“Sebenarnya ya juga gak mau kayak begini. Udah sepi, panas, diuber-uber kamtib. Cuma ya gimana namanya ibu-ibu harus biayain anak,” cerita Siro.
Dalam kondisi terdesak, Siro menguatkan diri demi anak-anaknya. Sejak pagi hingga pukul 8 malam, ia terus berpose di lampu merah dan menghampiri para pengendara. Dalam sehari, ia bisa mengumpulkan 70 hingga 130 ribu bergantung pada kemurahan hati para pengendara.
“Ya, tergantung rezekinya. Namanya juga kita minta sama orang kan. Kalau orang ngasih ya alhamdulilah, bersyukur. Kalau lagi kosong ya kosong,” ujar Siro
​
Siro harus mengatur penghasilan yang ia dapat dari menjadi manusia silver untuk kebutuhannya sehari-hari di Ciputat dan juga kedua anaknya di pesantren. Ia harus menanggung biaya kontrakan, makan, serta uang sekolah dan jajan ketiga anaknya. Meski pas-pasan, Siro tak lupa untuk selalu menyisihkan sebagian uang untuk membantu Ibunya di kampung halaman.
“Gimana ya, dibilang ketutup juga masih kurang. Kalau saya sih ya, namanya hasilnya ga tentu segitu terus, cukup ga cukup dicukup-cukupin aja deh,” jelas Siro.
Berani Menghadapi Segala Risiko
Setahun menjadi manusia silver, bukan merupakan perjalanan yang mulus bagi Siro. Tak hanya takut kembali diringkus petugas, Siro juga mengkhawatirkan kesehatan kulitnya dan keselamatan dirinya di jalanan. Lampu merah Gaplek tempat Siro berpose merupakan lokasi perempatan yang selalu dipadati pengendara setiap harinya. Bunyi klakson bersaut-sautan, dilengkapi bunyi knalpot racing tak pernah berhenti terdengar di area tersebut. Kebisingan menjadi hal yang wajar bagi Siro yang selalu berada di lampu merah itu setiap hari.
Sebagai seorang ibu, Siro tentu mengkhawatirkan keselamatan Bambang yang juga harus mengamen dengan ukulele ungunya. Bambang yang masih duduk di sekolah dasar pun harus tetap sekolah online di kolong fly over sembari menemani ibunya bekerja. Ia sering kali kehilangan konsentrasi ketika belajar karena suara bising motor dan mobil di sekelilingnya.
“Sambil di sini belajarnya. Iya (berisik), susah juga (belajarnya),” ujar Bambang malu-malu.
​
Namun, kesulitan itu tak menjadi penghalang bagi Bambang dan Siro. Mereka tetap semangat dan terlihat ceria menjalani hari-harinya meski banyak rintangan. Meski terlihat ceria, Siro sebetulnya terus dihantui rasa takut. Ia memasang senyum manisnya di depan, tetapi hatinya tak pernah tenang.
“Ini saya dari kemarin juga gak tenang hati. (Satpol PP) Lalu lalang melulu. Kemaren juga sempet dikejar lagi sampe kaki sakit, (lalu saya) ngumpet di sana,” keluhnya sambil menunjukkan tenda tempat persembunyiannya.
Kehadiran Satpol PP terus membayangi Siro setiap harinya. Siro tidak ingin tertangkap untuk yang kedua kalinya karena ialah satu-satunya orang yang harus menafkahi ketiga anaknya. Sebagai seorang ibu, Siro harus berani menghadapi segala rintangan yang ada demi anak-anaknya. Meski takut dan berbahaya, Siro tetap menerjang rintangan tersebut.
Tak hanya itu, cat sablon yang digunakan Siro pun sebetulnya berbahaya bagi kesehatan kulit. Cat tersebut seharusnya digunakan untuk pewarnaan tekstil sehingga apabila digunakan pada kulit akan menutup pori-pori yang bisa menyebabkan alergi, dehidrasi, kanker kulit, hingga kematian. Apalagi Siro yang menggunakan cat tersebut untuk membaluri keseluruhan kulitnya setiap hari selama setahun belakangan. Untuk membersihkannya pun, Siro tidak bisa menggunakan sabun mandi biasa. Ia harus menggunakan sabun pencuci piring agar cat tersebut bisa hilang dari kulitnya. Namun, Siro mengaku setelah setahun menggunakan cat tersebut tidak merasakan efek samping yang negatif bagi kulitnya.
“Kalau di saya sih enggak ya, gak ada apa-apa. Lagian juga banyak yang pake. Kalau emang ada apa-apa kan pasti banyak yang kena. Ini kan enggak. Gak tau kalau di orang lain ya, namanya kulit kan beda-beda,” jelas Siro.
​
Bila dicermati, rintangan dan risiko yang harus dihadapi Siro sebagai manusia silver tak sedikit dan cukup membahayakan dirinya. Namun, semua risiko berani ditanggung oleh Siro demi bertahan hidup di tengah pandemi. Meski mengancam kesehatan kulit bahkan pernah tertangkap oleh petugas Satpol PP, semangat Siro untuk menjadi manusia silver tak kunjung surut. Siro mengaku inilah jalan satu-satunya yang dapat ia jalani selama pandemi. Menurutnya, sebagai seorang ibu, ia harus berani menerjang segala rintangan demi anak-anaknya.
“Namanya juga ibu-ibu, ya harus kuat,” tutupnya dengan senyum.

Manusia silver berpose di lampu merah kolong fly over Gaplek, Pamulang, Tangerang Selatan. (Tangerang/Aurelia Felicia)

Siro sang manusia silver sedang beristirahat di kolong fly over. (Tangerang/Aurelia Felicia)

Siro sang manusia silver meminta sumbangan dari pengendara. (Tangerang/Aurelia Felicia)

Potret Siro (manusia silver) dan putra bungsunya Bambang. (Tangerang/Aurelia Felicia)

Potret Siro sang manusia silver. (Tangerang/Aurelia Felicia).